Dalam Islam, suami adalah pemimpin. Segala perintah atau keputusannya
mesti ditaati selama tidak mengandung kemaksiatan. Namun demikian,
Islam juga mengajarkan para suami untuk berembug atau bermusyawarah
dengan sang istri dalam setiap perkara rumah tangganya.
Sudah
selayaknya kehidupan rumah tangga menjadi wadah kerja sama antara
seorang suami dan istrinya. Keduanya bantu membantu dan bahu membahu
mengayuh bahteranya di gelombang samudra kehidupan agar sampai ke tepian
yang diimpikan. Keduanya saling berbagi. Suka dirasakan berdua. Duka
dibagi bersama. Tak salah bila seorang suami bertukar pikiran dengan
istrinya menghadapi problema yang ada atau sekadar mengeluhkan beban
masalah yang dipikulnya. Kesulitan yang dihadapinya mungkin bisa
terjawab dengan masukan dari sang istri. Apatah lagi bila istrinya
seorang yang cerdas dan berpikir lurus, ataupun istrinya bisa memberikan
kata-kata menghibur yang dapat menenangkan jiwanya. Bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Dan perkara mereka dimusyawarahkan di antara mereka.” (Asy-Syura: 38)
Yaitu
mereka memusyawarahkan permasalahan di antara mereka, tidak bersikap
terburu-buru/tergesa-gesa, dan mereka tidak menuruti pendapat mereka
sendiri. Adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajak musyawarah para sahabatnya dalam urusan-urusan beliau dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala perintahkan hal ini kepada beliau dalam firman-Nya:
وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ
“Dan ajaklah mereka musyawarah dalam urusan-urusan yang ada.” (Fathul Qadir, 4/642)
Rasul
yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai junjungan anak Adam,
kekasih pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah menyepelekan
keberadaan seorang istri di sisinya. Bila memang diperlukan, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajak musyawarah istrinya,
menceritakan permasalahan yang beliau hadapi serta memerhatikan saran
istrinya.
Saat Jibril ‘alaihissalam menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di gua Hira dengan membawa wahyu yang pertama:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan Nama Rabbmu yang telah menciptakan.”
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah dengan hati yang bergetar
untuk menemui istrinya Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
زَمِّلُوْنِي، زَمِّلُوْنِي
“Selimuti
aku, selimuti aku!” pinta beliau. Khadijah pun menyelimuti suaminya
hingga hilang rasa takut beliau. Disampaikanlah kisah kepada Khadijah
radhiyallahu ‘anha termasuk apa yang beliau rasakan:
لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ
“Sungguh aku mengkhawatirkan diriku (akan binasa).”
Khadijah radhiyallahu ‘anha pun menghibur suaminya yang mulia:
كَلاَّ
وَاللهِ، مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ،
وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْـمَعْدُوْمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ،
وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak
demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Engkau
seorang yang menyambung silaturahim, menanggung orang yang lemah,
memberi kecukupan/kemanfaatan pada orang yang tidak berpunya, suka
menjamu tamu, dan menolong kejadian yang haq1.”
Khadijah
radhiyallahu ‘anha kemudian mengajak suaminya menemui Waraqah bin
Naufal bin Asad bin Abdil ‘Uzza, anak pamannya, seorang tua lagi buta
yang beragama Nasrani2 dan biasa menulis Injil dengan bahasa Ibrani
ataupun bahasa Arab. Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai anak
pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh anak saudaramu.”
“Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?” tanya Waraqah
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berkisah tentang apa yang
dilihatnya dan pertemuannya dengan seseorang yang merangkulnya dengan
kuat di gua Hira. Kata Waraqah, “Itu Namus3 yang pernah Allah
Subhanahu wa Ta’ala turunkan untuk membawa wahyu kepada Musa
‘alaihissalam. Duhai! Andai kiranya saat itu aku masih muda! Andai
kiranya ketika itu aku masih hidup, tatkala kaummu mengusirmu!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut, “Apakah mereka akan
mengusirku?” “Iya”, tegas Waraqah, “Tidak ada seorang pun yang membawa
seperti yang engkau bawa kecuali ia akan dimusuhi. Kalau aku mendapati
hari-harimu itu tentu aku akan menolongmu dengan pertolongan yang kuat.” (HR. Al-Bukhari no. 3 dan Muslim no. 401)
Lihatlah!
Bagaimana Khadijah radhiyallahu ‘anha memberikan dorongan dan semangat
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberikan kata-kata
menghibur dengan mengingatkan beliau dengan sifat-sifat terpuji yang
Allah radhiyallahu ‘anha anugerahkan kepada beliau. Dan kita lihat
bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima saran
istrinya untuk menceritakan apa yang terjadi pada dirinya kepada Waraqah
bin Naufal, seorang yang punya pengetahuan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyebutkan bahwa dalam kisah di atas kita dapatkan beberapa faedah:
1. Disenanginya menghibur orang yang memiliki beban masalah dengan menyebutkan perkara-perkara yang dapat meringankannya.
2.
Disenangi bagi orang yang punya masalah/beban untuk menyampaikan apa
yang dialaminya kepada seseorang yang dipercaya dapat memberikan nasihat
dan lurus akal/pandangannya. (Fathul Bari, 1/34)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Dalam
hadits ini ada bukti yang paling besar dan argumen yang paling puncak
tentang kesempurnaan Khadijah radhiyallahu ‘anha, luasnya pikirannya,
kuatnya jiwanya, kokohnya hatinya, dan besarnya pemahamannya.” (Al Minhaj, 2/377)
Kita
berpindah kepada contoh berikutnya, ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bermukim di Madinah. Saat itu di tahun keenam
hijriyah, dalam bulan Dzulqa’dah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya berencana melaksanakan umrah di Baitullah.
Mereka berangkat dari Madinah menuju Makkah yang masih dikuasai oleh
orang-orang musyrikin dalam keadaan berihram. Namun orang-orang
musyrikin ini menghalangi beliau dan para sahabatnya untuk masuk ke
Makkah. Lalu terjalinlah perjanjian antara beliau dan orang-orang
musyrikin bahwa beliau baru diperkenankan masuk ke Makkah untuk berumrah
di tahun mendatang. Karena batal berumrah beliau pun hendak bertahallul
dari ihramnya dan memerintahkan kepada para sahabatnya:
قُوْمُوْا فَانْحَرُوْا، ثُمَّ احْلِقُوْا
“Bangkitlah kalian lalu sembelihlah hewan kalian, lalu cukurlah rambut kalian.”
Namun
apa yang terjadi? Demi Allah tak satupun dari para sahabat yang bangkit
memenuhi perintah beliau hingga beliau mengucapkan hingga tiga kali.
Ketika tidak ada satupun yang bangkit menjalankan perintah beliau,
beliau pun masuk ke tenda istrinya, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
Beliau keluhkan pada sang istri apa yang beliau dapatkan dari sikap para
sahabatnya, “Tidakkah engkau melihat orang-orang itu? Aku perintahkan mereka dengan satu perkara namun mereka tidak melakukannya.”
Istri yang shalihah ini pun berkata:
يَا
نَبِيَّ اللهِ، أَتُحِبُّ ذلِكَ؟ اُخْرُجْ، ثُمَّ لاَ تُكَلِّمْ أَحَدًا
مِنْهُمْ حَتَّى تَنْحَرَ بُدْنَكَ، وَتَدْعُو حَالِقَكَ فَيحْلِقَكَ
“Wahai
Nabiullah! Apakah engkau ingin mereka melakukan apa yang engkau
perintahkan? Keluarlah, lalu jangan engkau mengajak bicara seorang pun
dari mereka hingga engkau menyembelih sembelihanmu dan engkau memanggil
tukang cukurmu lalu ia mencukur rambutmu.”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjalankan saran istrinya yang
memiliki kecerdasan dan pendapat yang bagus ini. Beliau keluar dari
tenda, tanpa mengajak bicara seorang pun beliau menyembelih hewan
sembelihannya dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambut
beliau. Ketika para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka pun bersegera bangkit. Mereka
menyembelih hewan-hewan mereka dan sebagian mereka mencukur rambut
temannya hingga hampir-hampir sebagian mereka membunuh sebagian yang
lain disebabkan kegundahan dan kesedihan mereka (HR. Al-Bukhari no.
2731, 2372). Dengan saran Ummu Salamah, terselesaikanlah masalah yang
ada.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan bahwa dalam hadits di atas menunjukkan:
- keutamaan musyawarah
- bolehnya bermusyawarah dengan wanita yang memiliki keutamaan
-
kelebihan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, betapa kuat akalnya.
Sehingga Imam Al-Haramain berkata, “Kami tidak mengetahui ada seorang
wanita yang tepat/benar dalam memberikan pendapatnya ketika
bermusyawarah kecuali Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.” (Fathul Bari, 5/426)
Dua
kisah di atas, cukuplah menjadi bukti bahwa seorang istri yang shalihah
bisa diajak musyawarah, dimintai pendapatnya dalam urusan suaminya.
Sampaipun dalam perkara umat yang diurusi oleh suaminya bila suaminya
seorang da’i. Saran-sarannya pun dapat diterima dan dijalankan dalam
urusan yang penting. Semua ini juga menunjukkan penghargaan Islam kepada
wanita. Walhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
nikmat ini …
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1
Para ulama berkata, “Makna dari ucapan Khadijah radhiyallahu ‘anha ini
adalah engkau tidak akan ditimpa perkara yang jelek /tidak disukai
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan pada dirimu akhlak yang
mulia dan perangai yang utama.” (Al Minhaj, 2/377)
2
Waraqah dan temannya meninggalkan negerinya menuju Syam karena benci
kepada peribadatan berhala. Di sana ia bertanya tentang agama yang
kemudian ia tertarik dengan agama Nasrani hingga ia memeluknya. Ia
sempat bertemu dengan beberapa pendeta yang berada di atas agama Isa
‘alaihissalam yang belum diubah (masih asli), karena itu ia bisa
memberitakan tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kabar
gembira tentang diutusnya beliau serta berita-berita lain yang telah
dirusak oleh orang-orang yang mengubah-ubah agama Nabi Isa
‘alaihissalam. (Fathul Bari, 1/34)
3 Bahasa Ibrani, artinya pemegang rahasia. Ini merupakan sebutan untuk Jibril ‘alaihissalam. (Al-Minhaj, 2/378)
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah Judul: Musyawarah dengan Istri
https://www.facebook.com/notes/untung-rahmatulloh/-pentingnya-musyawarah-dengan-istri-/10150397289827932
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...