“Apa yang kamu minta sebagai mahar pernikahan kita?” Itulah pertanyaan Mas
Tomi 18 tahun lalu (1995), saat kami tengah mempersiapkan pernikahan. “Apa ya?”
Saya balas bertanya. Tapi hati dan pikiran saya seolah bersepakat, bahwa tak
ada mahar yang lebih baik selain yang memudahkan sang pelamar.“Seperti
kebanyakan orang saja, Mas.
Seperangkat alat sholat dan cincin kawin.” “O ya?
Itu sajakah?” tanyanya. Saya mengangguk. “Alhamdulillah semoga berkah selalu
bagi saya dan kehidupan rumah tangga kita kelak. Amiiin,” kata saya dengan
wajah cerah. Itulah mahar yang saya dapat dari pernikahan kami. Sebuah mahar
yang bagi mas “melapangkan” dan bagi saya juga demikian.