“Apa yang kamu minta sebagai mahar pernikahan kita?” Itulah pertanyaan Mas
Tomi 18 tahun lalu (1995), saat kami tengah mempersiapkan pernikahan. “Apa ya?”
Saya balas bertanya. Tapi hati dan pikiran saya seolah bersepakat, bahwa tak
ada mahar yang lebih baik selain yang memudahkan sang pelamar.“Seperti
kebanyakan orang saja, Mas.
Seperangkat alat sholat dan cincin kawin.” “O ya?
Itu sajakah?” tanyanya. Saya mengangguk. “Alhamdulillah semoga berkah selalu
bagi saya dan kehidupan rumah tangga kita kelak. Amiiin,” kata saya dengan
wajah cerah. Itulah mahar yang saya dapat dari pernikahan kami. Sebuah mahar
yang bagi mas “melapangkan” dan bagi saya juga demikian.
Waktu memutuskan menikah, Mas baru saja lulus kuliah dan saya duduk di
tingkat akhir di Fakultas Sastra UI. Kami berdua memang sangat bersemangat
belajar dan mengamalkan ajaran Islam. Apa saja yang kami tahu, yang baru
sedikit itu, kami coba jalankan. Kami pun memutuskan ke pelaminan tanpa proses
pacaran. Setelah tiga bulan taaruf kami langsung menikah.
“Hah?” Jerit teman kuliah saya. “Lo gila ya? Lo kan ga tahu dia siapa?
Trus lo mau nikah ama dia?
Saya mesem. “ Ya memang begitu. Tapi aku kan nggak bodoh. Aku juga sudah cari
tahu tentang dia sebanyak-banyaknya. Dari keluarga, teman dekat, bahkan teman
jauhnya,” kata saya nggak mau kalah. Saya geli sendiri mengenang ragam
“inspeksi” yang saya lakukan untuk bisa tahu banyak hal mengenai Mas.
“Ya Allah, Vy, yang pacaran 5 tahun aja kadang belum berani nikah…?”
“Nah ntar takutnya giliran nikah, dah langsung bosen tuh…,” canda saya.
“Kalau ini, aku suka…penuh misteri dan petualangan!”
“Vyyyyy. Gila bener deh Lo. Lo harus menyelami pribadi dia dulu biar nggak
nyesel nanti.”
“Temanku pacaran tujuh tahun kurang “menyelam” apa ya?” canda saya, tapi
serius. “Terus mereka nikah. Eh baru enam bulan malah cerai,” saya meringis.
O…o!
Bismillah. Kami akhirnya menikah. Dengan mahar yang orang bilang
sederhana, murah. Seperangkat alat sholat dan cincin emas lima gram. Tapi makna
di balik mahar itu buat saya luar biasa. Seperangkat peralatan sholat yang ia
berikan, misalnya menunjukkan bahwa ia mengajak saya untuk benar-benar meniti
jalan Illahi. Ia akan menuntun saya agar selalu dekat dengan Allah. Untuk
mencintai apa yang Allah cintai dan menjauhi apa yang Allah murkai. Itu
bermakna, ia menginginkan saya menjadi muslimah yang taat, yang mengerjakan,
mendirikan, menegakkan sholat saya dalam diri, dalam keluarga, dan pada skala
yang lebih besar, seperti masyarakat sekitar, bahkan mungkin ummat. Ya, sholat
saya harus memiliki dampak dalam diri, keluarga dan masyarakat. Subhanallah.
Dan cincin itu? Pengikat berkilau yang bisa dilihat banyak orang melingkar di
jari saya, yang menandakan saya adalah pasangan seseorang. Di batin, cincin itu
juga akan mengikat cinta kami.
Makanya ketika mendengar ada teman yang sudah mau menikah tapi “keberatan”
mahal (alias maharnya mahal), kami cukup merasa prihatin.
“Calon istri saya bilang, yang bener aja masak lo ngargain gue segitu
doang?” curhat seorang teman kami bingung. “Padahal saya sudah kasih dia cincin
berlian yang mahal. Masak sih cuma cincin? Begitu dia bilang….”
Saya jadi ikut menarik napas panjang. Ini nih yang salah kaprah,
mengaitkan harga diri perempuan dengan mahar. Padahal ya itu tadi, Rasulullah
pernah berkata, bahwa sebaik-baik perempuan salah satunya adalah yang maharnya
mudah.
Bicara soal mahar, saya jadi ingat salah satu adinda fillah saya. Suatu
hari, ia mengirimkan naskah novel yang katanya akan diterbitkan. “Mbak, tolong
ya beri endorsment. Ini novel perdana dan sangat berarti buat saya.”
Mengapa?
“Saya akan menikah, Mbak. Saya tidak punya sesuatu yang berharga maka saya
berikan novel ini sebagai mahar bagi calon istri saya.”
“O ya? Subhanallah.”
Indah. Saya suka mendengarnya. Sebuah buku yang lahir dari pergulatan
pemikiran dan perasaan, ditulis dari hati dan jiwa, sebagai sebuah mahar. Buku
yang akan mempererat ikatan di antara diri, pikiran, hati dan jiwa mereka pula.
Menakjubkan.
Menakjubkan.
Saya tulis sebuah endorsment tanda penghargaan saya untuk novel itu.
Mungkin sang penulis tak berpikir bahwa buku itu akan menjadi fenomenal dan meledak di pasaran, hingga dibuat soundtrack, bahkan filmnya. Begitu berminatnya masyarakat terhadap novel tersebut hingga banyak di antara mereka yang memutuskan pergi bersama sang penulis, mengunjungi tempat-tempat yang menjadi latar ceritanya.
Mungkin sang penulis tak berpikir bahwa buku itu akan menjadi fenomenal dan meledak di pasaran, hingga dibuat soundtrack, bahkan filmnya. Begitu berminatnya masyarakat terhadap novel tersebut hingga banyak di antara mereka yang memutuskan pergi bersama sang penulis, mengunjungi tempat-tempat yang menjadi latar ceritanya.
Ya, saya rasa sang penulis mungkin tak pernah berpikir bahwa buku itu
membawa rezeki dari Allah dan banyak keberkahan. Berkah sebuah mahar yang dulu
diberikan dari hati
Habiburrahman El Shirazi, bagi Muyasarotun Sa’idah yang menerimanya dengan penuh ketulusan. Kini berkah itu bahkan berimbas pada sekitar mereka dan masyarakat Indonesia.
Lepas dari begitu banyak tanggapan atas novel tersebut, bagi saya, kisah Habib dan Sa’idah bahkan menandingi keindahan novelnya, mahar itu: Ayat-Ayat Cinta.
“Jadiiii, maksudnya, kamu juga ingin aku menulis buku untukmu?” Tanya Mas
suatu ketika iseng, saat saya ceritakan kisah Habib dan istrinya.
Hmmmm…saya cubit lengannya manja. Yaaaaaa, mana ada istri yang nolak.dong.
Kalau mahar sudah lewat, mungkin kado milad pernikahan? Batin say ge er. Kita
lihat saja nanti. Tapi kalau buku itu betul-betul jadi, kira-kira buku apa ya?
Saya pikir bukan novel. Mungkin buku tentang televisi hehehe atau novel tentang
para jurnalis televisi? Dengan nama saya di halaman persembahan,
tentunya…..Piiiiiiisss, Mas ;)
Oleh : Helvy Tiana Rosa, 03062013, Islamedia
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...