Ust.Fadzlan Garamatan |
Ketika mereka datang ternyata sudah banyak komunitas Islam disana. ”Bagi orang Kristen tanggal itu adalah pertama kalinya Kristen masuk ke Irian, tapi bagi kami itu adalah pemurtadan pertama di Irian”, tegas ustad yang terkenal dengan julukan ’ustad sabun’ ini, yang serius menggarap dakwah Islam di Irian. Dua orang zendeling-werklieden Jerman ini menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Papua setelah menempuh perjalanan panjang dari Eropa dengan kapal Abel Tasman pada 25 Juni 1852 melalui Tanjung Harapan dan tiba di Batavia pada 7 Oktober 1852, kemudian berlayar ke Makasar, Ternate sebelum akhirnya tiba di Mansinam (Manokwari) pada 1855.
Tujuan awal mereka adalah membeli rempah-rempah. Nama dua orang penginjil ini diabadikan sebagai nama satu gereja di Kota Manokwari. Karena jasanya menyebarkan kristen keduanya dinobatkan sebagai ”Rasul Irian Barat” oleh gereja. Islam di Papua sejak 1214 M Islam masuk Irian atas jasa Syeh Iskandar Syah dari Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi tepatnya 17 Juli 1214. Sedangkan Samudera Pasai sendiri telah mengenal Islam sejak abad ke-7 Masehi. Dakwah Islam dari Samudra Pasai bergerak ke Philipina dan masuk ke Maluku Utara. Sehingga pada abad 18M Sultan Tidore datang, Islam sudah ada di Irian.
Pada waktu itu namanya bukan Irian atau Papua tapi nama aslinya adalah NUU WAAR, yang artinya “negeri yang menyimpan cahaya rahasia” hal ini berkaitan dengan sejarah perkembangan Islam di sana. Pengubahan nama ini sengaja dibuat demikian untuk membentuk opini bahwa rakyat Irian berbeda dengan orang Sulawesi, Jawa, karena mereka hitam, kriting. Sulawesi, Jawa adalah Islam dan rakyat Irian bukan seperti mereka, demikian yang sengaja ditanamkan pada rakyat Irian. Istilah “Irian” menurut bahasa Fak-fak artinya negeri yang besar. Datangnya Ibnu Battutah 1517 ke sana melihat orang telanjang sehingga disebutlah sebagai negeri “Arian” yang artinya telanjang. Kemudian di tetapkan di Konferensi Malino th.1963 menjadi IRIAN ( Ikut Republik Indonesia Anti Nederland ). Tapi oleh Gus Dur dengan alasan yang sarat kepentingan Politik dan Gereja dia menetapkan kembali ke istilah “ Papua ”.
Kembalinya ke nama Papua bukanlah pilihan rakyat Papua. Pembodohan sistematis ”Kedatangan para missionaris ke Papua kata mereka dengan alasan pendidikan, kesehatan dan agama. Akan tetapi apa kenyataan yang ada ? Mereka justru men-drop minuman keras”, tegas ustad Fadzlan pendiri Yayasan Al-Fatih Kaafah Nusantara ( AFKN ). Ucapan beliau tidak berlebihan dan memang dalam gereja sendiri minuman beralkohol adalah salah satu item yang tidak boleh ditinggalkan dalam upacara ekaristi. Dalam Bibel tidak ada larangan mengkonsumsi minuman beralkohol, justru merupakan ritual suci dalam gereja. Para pastor dan pendeta pun menganjurkan jemaatnya untuk minum.
Para missionaris juga tidak mendidik masyarakat adat untuk meninggalkan koteka, yang ada justru mereka melestarikannya. Beliau menambahkan, ” Koteka adalah pemahaman yang sengaja dibangun oleh missionaris dan itu dipelihara dibuat sebagai kebudayaan, dianggap sebagai lebih baik, padahal itu pembodohan !!. Jangan kan Koteka, mandi dengan minyak babi dianggap kebudayaan”. Rupanya ada suatu upaya pembodohan yang sistematis untuk membuat rakyat Irian kemudian menjadi seperti suku Aborigin.
Memanjakan mereka dengan minuman-minuman keras sehingga mereka rusak secara mental dan fisik. Pada gilirannya, suatu saat, dengan mudahnya mereka akan dimusnahkan. Misionaris tidak diterima, Aksi missionaris di Papua tidak begitu saja di terima oleh warga adat setempat. Warga adatpun melakukan perlawanan terhadap aksi Kristenisasi yang mereka lakukan. Sebagai contoh antara lain: Bruno de Leeuw berkebangsaan Belanda dan Stanley Dale dari Australia. Kedatangan mereka berdua tidak disenangi oleh kalangan suku Yali yang berdiam di wilayah selatan lembah Baliem. Tubuh mereka dilukai dengan anak panah dan dibuang ke tengah rawa-rawa. Gert Van Enk dari Belanda, selama 5 tahun menjalankan tugas missionaris di daerah Korowai yang oleh kalangan missi kerap dijuluki sebagai ”Neraka Bagian Selatan”. Gert berasal dari Protestan saat itu ia membaptis 3000 penduduk Korowa. Karena ia tidak terlebih dahulu melapor pada kepala suku, maka ia diserang dengan anak panah hingga tubuhnya penuh luka-luka. Willy Waley, missionaris asal Amerika, sudah 30 tahun malang melintang di pedalaman Papua, ia menuturkan bahwa beberapa orang seniornya telah dibunuh dan tubuhnya di makan oleh suku kanibal.
Missionaris dana dukungan internasional
Perlu dicatat, sesungguhnya dukungan gereja-gereja internasional untuk gerakan missionaris di Irian tidak tanggung-tanggung. Mereka merambah bumi Papua dengan pengadaan pesawat-pesawat terbang khususnya untuk daerah-daerah yang sukar dijangkau. Saat ini banyak perusahaan penerbangan milik missionaris hadir di Papua. Di antaranya Nederland Nieuw Guinea Luchvaart Maatschappij (NNGLM) yang menyelenggarakan penerbangan rutin antara Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke dan Jayawijaya dengan pesawat DC-3.
Disusul kemudian perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koniklijk Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri dari Biak. Sudah sejak tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi lapangan Internasional. Selain penerbangan itu masih terdapat penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Protestan yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Katholik yang bernama Associated Mission Aviation (AMA). AMA melayani penerbangan ke pos-pos penginjilan di daerah pedalaman.
Pesawat inilah yang dikabarkan jatuh hari Kamis (5/1/2006) di Omba, Kecataman Burmey, Pegunungan Bintang, Papua. Missionaris hanya kedok Sebuah pertanyaan besar muncul, dengan semua sarana canggih yang mereka miliki sehingga bisa merambah seluruh pelosok wilayah Papua, apa sesungguhnya yang sudah mereka lakukan ? Mengapa masih banyak suku primitif ? Mengapa masih banyak yang mengenakan koteka ? Bukankah mereka ini (missionaris) sudah bergerak di Papua selama lebih dari 151 tahun ? Apa saja yang mereka lakukan selama itu ? Ataukah missionaris hanyalah kedok ?
Tujuan utama mereka adalah meneliti dan mendata kekayaan bumi Papua. Kemudian menyusun strategi, menunggu saat yang tepat untuk melepaskan Papua dari pangkuan bumi pertiwi Republik Indonesia. Kembali tentang orang pedalaman Irian, Ust.Fadzlan yang bernama lengkap M Zaaf Rabbani Al-Garamatan, mengatakan, ”Padahal orang pedalaman kalo kita bina mereka, akan merupakan cahaya-cahaya yang berbinar binar… dan banyak orang Wamena yang begitu jadi muslim…. Subhanallah… mereka adalah mutiara-mutiara iman dari timur yang tersimpan.” ”Untuk itu perlu ada penyentuhan, perlu membangun peradaban, perlu dimulai dengan sebuah pendekatan. Biarpun kita dipanah, terimalah panah sebagai tanda sebagai motivator, datangi mereka ucapkan ’terimakasih anda telah memanah saya, tapi saya ingin terimakasih ini tidak terputus hanya disini’, pasti mereka akan menangis terharu …mereka juga manusia kan !”, katanya.
.
Sumber : http://zilzaal.blogspot.com/
---
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...