Oleh: Untung Rahmatullah
Pulang
dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami selaku
kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru
masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang
istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal
ini?
Salah
satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya
adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia
mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara
ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa
enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah,
memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih
mampu untuk menanganinya. Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang
istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya,
mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan
kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan
hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sungguh ini
merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia
akan beroleh kebaikan.
Berkhidmat
kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari
kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq
radhiallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu
‘anhu, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan
minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk
membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara
jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh1.” (HR.
Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian
pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sampai-sampai kedua
tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat
ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan
bimbingan kepada yang lebih baik:
أَلاَ أَدُلُّكُماَ عَلَى ماَ هُوَ
خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُماَ إِلَى فِرَاشِكُماَ أَوْ
أَخَذْتُماَ مَضاَجِعَكُماَ فَكَبَّرَا أًَرْبَعاً وَثَلاَثِيْنَ وَسَبَّحاَ
ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِّدَا ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُماَ
مِنْ خاَدِمٍ
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik
bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian
atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan
Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.”
(HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,
menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi
saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. Jabir berkisah: “Ayahku
meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang
janda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku:
تَزَوَّجْتَ ياَ جاَبِر؟ فَقُلْتُ:
نَعَمْ. فَقاَلَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّباً؟ قُلْتُ: بَلْ ثَيِّباً. قاَلَ: فَهَلاَّ
جاَرِيَةً تُلاَعِبُهاَ وَتُلاَعِبُكَ، وَتُضاَحِكُهاَ وَتُضاَحِكُكَ؟ قاَلَ
فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَ تَرَكَ بَناَتٍ، وَإِنِّي كَرِهْتُ
أَنْ أَجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ
وَتُصْلِحُهُنَّ. فَقاَلَ: باَرَكَ اللهُ لَكَ، أَوْ قاَلَ: خَيْرًا
“Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”
“Sudah,”
jawabku.
“Dengan
gadis atau janda?” tanya beliau.
“Dengan
janda,” jawabku.
“Mengapa
engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya
dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa
tertawa bersamamu?” tanya beliau.
“Ayahku,
Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka
mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku
pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.
Beliau
berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan
bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)
Hushain
bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah
mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan,
beliaupun bertanya:
أَيْ هذِهِ! أَذَاتُ بَعْلٍ؟ قُلْتُ:
نَعَم. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قُلْتُ: ماَ آلُوْهُ إِلاَّ ماَ عَجَزْتُ
عَنْهُ. قاَلَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّماَ هُوَ جَنَّتُكَ
وَناَرُكَ
“Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?”
“Iya,”
jawabku.
“Bagaimana
engkau terhadap suamimu?” tanya beliau.
“Aku
tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa
yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku.
“Lihatlah
di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,”
sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh
Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)
Namun
di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan
pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan
keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.
Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah
kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau
menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan
untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana
diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha ketika Al-Aswad bin Yazid
bertanya kepadanya:
ماَ كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ؟ قاَلَتْ: كاَنَ يَكُوْنُ فِيْ
مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ- فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ
خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam rumah?”
Aisyah
radhiallahu ‘anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila
tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari
no. 676, 5363)
Dalam
riwayat lain, Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:
ماَ يَصْنَعُ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ،
يَخْصِفُ النَّعْلَ وَيَرْقَعُ الثَّوْبَ وَيُخِيْطُ
“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang
kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan
menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan
Al-Misykat no. 5822)
كاَنَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي
ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شاَتَهُ
“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras
susu kambingnya”. (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan
Ash-Shahihah 671)
Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
1 1
farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil
...
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...