Oleh: Abu Maryam, Lc.
الدعوة إلى الله سبيل النجاة في الدنيا و الآخرة
“Berdakwah kepada Allah merupakan jalan keselamatan di dunia dan akhirat”
Seorang da’i, selayaknya memahami betul hakekat dari sebuah
penciptaan manusia di atas muka bumi. Dengan pemahaman yang matang
tentang hal ini, para da’i dapat dengan sempurna menjalankan tugasnya.
Sebagaimana yang telah dicontokan oleh para nabi dan rasul.
Firman Allah Swt. dalam Al Quran surat Adz-zariyat, ayat: 56, mengabarkan kepada kita akan arti dari hakekat penciptaan. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Ibadah, dalam hal ini tak akan pernah terealisasikan secara sempurna, tanpa diawali dengan kesadaran yang dalam (‘ala al-bashirah). Dalam Tafsir al-Baidhowi dituliskan, makna ‘ala al-bashirah berarti; melakukan sesuatu hal dengan penuh kesadaran, memiliki argument yang kuat serta dapat dipertanggungjawabkan.
Dan kesadaran dalam beribadah seperti ini tak akan bisa terpupuk
dengan baik, tanpa mengikuti risalah yang disampaikan oleh Rasulullah
Saw. dan para nabi lainnya. Sehingga dalam beribadah, sholat misalnya,
bukan lagi menjadi sebuah rutinitas belaka, tapi menjadi sebuah
kebutuhan yang dilakukan dengan penuh sadar, yang begitu dalam dipahami
maknanya.
Apa yang dilakukan oleh nabi dan rasul selaku hamba Allah yang diutus
di atas muka bumi ini, pada hakekatnya merupakan pengejawantahan dari
ayat yang difirmankan Allah kepada para malaikat, yaitu ketika awal
pertama kali Adam As. diciptakan, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 30)
Dengan demikian, makna hakekat penciptaan manusia secara garis besar
adalah berfungsi sebagai khalifah dan untuk beribadah kepada Allah Swt.
Sebagaimana yang termaktub dalam dua ayat di atas tadi.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa maksud dari kata ibadah yang tertera dalam Surat Adz-Zariyat adalah, pertama; menaati perintah Allah Swt. dan yang kedua; berlaku kasih sayang terhadap sesama makhluk Allah Swt.
Dan “berdakwah” merupakan amalan ibadah yang menempati posisi puncak,
sebagai bentuk aplikasi dari dua definisi ibadah yang disampaikan oleh
Imam Ar-razi dalam tafsirnya tadi. Hal ini dikarenakan, pertama;
berdakwah memiliki makna menyeru manusia menuju Allah. Tugas yang sama
seperti yang diemban oleh para nabi dan rasul. Dalam Surat Al Fushilat
ayat 33, Allah Swt. telah berfirman, “Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal
yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri?”
Kedua, di dalam berdakwah pula, tercermin rasa kasih sayang
antar sesama makhluk ciptaan Allah. Hal ini bener adanya, karena seorang
da’I, melihat obyek dakwah (mad’u) dengan penuh harapan, dapat menjadikan dirinya wasilah hidayah menyelamatkan mad’u-nya
dari kesia-siaan dalam menjalani hidup. Sang da’i kemudian
mendekatinya, dan terus berusaha memberikan arahan, memberikannya
pengajaran akan hakekat dari sebuah kehidupan.
Seseorang yang terkukung dalam system hidup duniawi misalnya, yang
hari-harinya disibukkan untuk mengejar materi belaka. Berkat sentuhan
seorang da’i, cara pandangnya terhadap dunia kemudian bisa berubah,
obsesinya berganti bukan lagi materi, namun bagaimana kini ia bisa
beramal sebanyak-banyaknya agar bisa menjadi bekal hidupnya di akhirat
kelak.
Para nabi dan rasul, telah memberikan kita teladan selama dalam
perjuangan mereka mengemban risalah mulia ini, mereka berdakwah siang
dan malam, demi mengajak umat manusia menuju Allah, sekalipun cacian dan
makian serta intimidasi tak henti-hentinya mereka dapatkan.
Al Quran sangat banyak menceritakan kisah perjuangan para nabi dan
rasul, yang tetap tegar berdakwah di tengah kaumnya yang zalim. Namun
demikan, Allah selalu memenangkan mereka dan menyelamatkan para
utusan-Nya dari kejahatan kaumnya yang durhaka.
Seperti dalam kisah Nabi Nuh As. dengan kaumnya, “Lalu mereka
mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang
bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang
kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi
peringatan itu.” (QS. Yunus: 73)
Kisah nabi Hud as. dan kaumnya, “Dan tatkala datang azab Kami,
Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan
rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari
‘azab yang berat.” (QS. Huud: 58)
Dan kisah nabi Shaleh dengan kaumnya, “Maka tatkala datang azab
Kami, Kami selamatkan Saleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia
dengan rahmat dari Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari
itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Huud: 66)
Serta kisah nabi Luth As. dengan kaumnya “Para utusan (malaikat)
berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu,
sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah
dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan
janganlah ada seorang di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu.
Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena
sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh;
bukankah subuh itu sudah dekat? Maka tatkala datang azab Kami,
Kami jadikan negeri kaum Lut itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan),
dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi.”. (QS. Huud: 81-82)
Dan masih banyak kisah anbiya’ dan rasul lainnya, yang pada
intinya menguatkan pernyataan, bahwa kemenangan selalu berpihak kepada
para da’i yang menyeru kepada Allah swt. Dalam Al Quran surat Yunus,
ayat 103 Allah Swt. telah berfirman, “ Kemudian Kami selamatkan
rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi
kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” Imam
Ar-razi kemudian menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bahwa
keselamatan atas Rasul dan orang yang beriman, merupakan kebenaran yang
telah dijanjikan oleh Allah Swt.
Sayyid Quthub dalam tafir Fi Zilalil Qur’an-nya menuliskan,
“Hal ini merupakan sunatullah yang terjadi di atas muka bumi, dan ini
merupakan janji Allah kepada para wali-nya. Apabila jalan juang ini
terasa panjang, maka sadarilah, bahwa inilah sebenar-benarnya jalan
juang itu. Dan jangan tanya lagi berapa besarnya ganjaran yang
dijanjikan untuk orang beriman. Dan janganlah ia terburu-buru untuk
mendapatkannya, karena jalan juang masih harus ia rentasi. Allah tidak
akan pernah mengkhianati janji untuk para wali-nya, dan tidak akan
melemahkan bantuan terhadapnya, dan Ia tidak pula akan membiarkan para
wali-nya dikalahakan oleh para musuh-Nya. Namun Allah justru akan
memberikannya sebuah pengajaran, melatih dan menambah ujian bagi para
wali-Nya, dengan memanjangkan jalan dakwah yang harus ia tapaki.”
Umat nabi Muhammad Saw. adalah umat paling istimewa diantara umat
yang lain. Banyak ayat yang menceritakan, bagaimana umat terdahulu yang
membangkang, langsung mendapatkan azab pada saat itu juga, hingga tak
tersisa lagi dari jiwa dan raga mereka, bahkan dilenyapkan hingga satu
generasi. Sebagaimana yang termaktub dalam kisah para nabi dan Rasul
ketika menghadapi sikap keras kaumnya.
Namun demikian, berbeda hal nya dengan umat nabi Muhammad Saw., para
kafir Quraisy tidak serta merta diazab atas sikap penentangannya
terhadap risalah kenabian. Namun semua itu ditangguhkan hingga waktunya.
Hal serupa yang kita rasakan sekarang. Tatkala penekanan terhadap umat
Islam terjadi dimana-mana, pelecehan dan intimidasi karena akidah
merebak di berbagai belahan dunia, namun azab untuk mereka musuh-musuh
Allah tak kunjung datang. Pertanyaannya adalah mengapa? Jawabannya, hal
itu dikarenakan satu hal, yaitu masih bekerjanya para da’I hingga detik
ini dalam menyebarkan risalah Islam, sehingga azab yang ditimpakan
kepada kaum pembangkang dahulu itu pun kini ditangguhkan.
Kemulian berdakwah inilah sesungguhnya yang Allah berikan kepada
kita, selaku umat nabi Muhammad Saw. Para da’i bahkan menjadi tolak
ukur, hingga detik kapan bumi ini hancur dan kiamat terjadi. Dikarenakan
sangkakala kiamat tak akan ditiupkan, hingga tak ada satu makhluk pun
di atas muka bumi ini yang menyebut-nyebut asma Allah Swt.
Beberapa hadis yang menyebutkan tanda-tanda terjadinya hari kiamat mengabarkan, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat kecuali kepada manusia durjana (yang paling jahat)” (HR. Muslim)
Dalam hadis lainnya, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah akan datang hari kiamat selama masih ada yang mengucapkan Allah.., Allah…” Dalam riwayat yang lain, “sampai tidak terucap lagi kalimah Allah.., Allah…” (HR. Muslim)
Dalil hadis di atas mengisyaratkan, bahwa kiamat terjadi ketika tak
ada lagi yang menyeru kepada Allah, dalam artian, tak ada lagi dakwah
dan para pengembannya. Oleh karena itu keberadaan seorang da’i sangatlah
penting. Keeksistensiannya menentukan akhir dari perjalanan panjang
usia bumi.
Disamping itu, ganjaran yang dijanjikan juga sangatlah besar. Karena
ia merupakan pelanjut estafet dari apa yang dilakukan oleh para nabi dan
rasul. Mereka selalu berada dalam lindungan Allah, mereka pula yang
dijanjikan keselamatan baik di dunia mau pun di akhirat; pada hari tak
adalagi naungan, melainkan naungan dari-Nya. Dan itu hanya diberikan
kepada hamba-hamba pilihan, yang menjalankan sunnah dari hakekat
penciptaan dirinya, yaitu menjadi khalifah dan beribadah di setiap sisi
masa hidupnya di dunia kepada Allah Swt.. Wallahu a’lam bishawab
- Disarikan dari kitab “Qawaidu ad-da’wah ilallah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Dârul wafa’, Manshurah, Mesir.
Sumber gambar: www.billfrymire.com
---
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...