Ta'aruf VS Pacaran |
1. Apakah defenisi dari Ta’aruf ?
Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang
berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan
tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan
dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga
dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu
keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang
khitbah – taaruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan
maksud agar saling mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
2. Apakah Perbedaan Pacaran dan Ta’aruf ?
Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli motor second, tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus motor itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan motor itu.
Sedangkan taaruf adalah seperti seorang
montir motor yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem,
sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok,
maka barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan taaruf,
seseorang baik pihak pria atau wanita berhak untuk bertanya yang
mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan
lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena
bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun secara teknis,
untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk
membawa pergi motor itu sendiri.
3. Ada Suatu Pertanyaan Seperti ini ?
a. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ..
“Katakan kepada kaum mukminin hendaklah mereka menjaga pandangan serta
kemaluan mereka –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum
mukminat hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka .”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pandangan yg tiba-tiba ? mk beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita pada asal bukanlah aurat yg terlarang.
Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lbh dari
tuntutan hajat dan tdk boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi
pembicaraan tidak boleh berupa perkara-perkara yg membangkitkan syahwat
dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapan
menjadi aurat dan fitnah yg terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian berbicara dgn suara yg lembut sehingga lelaki yg
memiliki penyakit dlm kalbu menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yg
ma’ruf / baik .”
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabat
lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan kepentingan dan para shahabat ikut mendengarkan.
Tapi mereka tdk berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa
melembutkan suara.
4. Proses Ta’aruf
Lalu bagaimana proses taaruf yang syar’i sehingga menuju pernikahan yang barokah?
Yang pertama yaitu tidak boleh menunggu, misalnya jarak antara taaruf
dengan pernikahan selama satu tahun. Si akhawat diminta menunggu selama
satu tahun karena ikhwannya harus bekerja terlebih dahulu atau harus
menyelesaikan kuliah dulu. Hal ini jelas mendzolimi akhwat karena harus
menunggu, dan juga apa ada jaminan bahwa saat proses menunggu itu tidak
ada setan yang mengganggu??
Yang kedua adalah tidak
boleh malu-malu, jadi kalau memang sudah siap untuk menikah sebaiknya
segera untuk mengajukan diri untuk bertaaruf. Apabila malu-malu maka
proses Ta’aruf akan tidak terjadi atau tidak akan lancar dalam
prosesnya, nah jadi repot sendiri kita.
Kemudian
yang ketiga dapat melalui jalur mana saja. Maksudnya adalah kita bisa
meminta bantuan siapa saja untuk mencarikan calon pendamping kita, mulai
dari orang tua, murobbi, saudara, kawan atau orang-orang yang dapat
kita percaya.
Etika selama bertaaruf yaitu jangan terburu-buru
menjatuhkan cinta. Misalnya ketika kita mendapatkan satu biodata calon
pasangan tanpa mengenal lebih dalam, tiba-tiba sudah yakin dengan
pilihan itu. Alangkah baiknya jika mengenal lebih dalam mulai dari
kepribadian, fisik, dan juga latar belakang keluarganya, sehingga nanti
tidak seperti membeli kucing dalam karung. Akan tetapi tidak
terburu-buru dalam menjatuhkan cita itu juga tidak boleh terlalu lama
dan bertele-tele. Sebaiknya menanyakan hal yang penting dan to the
point. Hal ini juga untuk menghindari godaan setan yang lebih dahsyat
lagi.
Proses taaruf dikatakan selesai jika sudah mendapatan tiga hal yaitu :
1. Tentang budaya keluarga,
2. proyeksi masa depan dan
3. visi hidup dari masing masing.
Nah jika ketiga hal ini sudah didapatkan maka proses taaruf selesai,
dan berlanjut ke tingkat berikutnya apakan dilanjutkan atau tidak. Jika
iya maka segera untuk ditindak lajuti bersama dengan pihak keluarga
kedua belah pihak kalau istilah jawanya “rembug tuwo”. Dan ingat pada
saat proses menunggu datangnya hari bahagia itu godaan setan akan
bertumpuk-tumpuk, akan ada saja yang menggoda kita melalui berbagai
macam hal. Jadi untuk menghindari itu perbanyak dzikir mengingat Allah,
dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Karena dengan itu maka Allah akan
senantiasa melindungi hati kita, pikiran kita dan tindakan kita dari
hal-hal yang dilarang.
5. Kesimpulan
Dengan demikian
jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam
untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak
boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri
selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau
lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan
perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna
pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya
berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan
bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat
masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna
pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah.
Wallahul musta’an
(Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang
hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang
bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi
(riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk
diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta
keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang
seperti istri teman atau yang lainnya.
Dan pihak yang dimintai
keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun
harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam
kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang
dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian
pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal
lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika
dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta
nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau
bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak
pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia
adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah
bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya
berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan
tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari
balik hijab.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam
Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya
berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat
tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati
percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena
setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara
ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang
lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan
melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor
memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan
pembahasan khusus .
Semoga Membawa Manfaat.
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...