Sintang - Waktu itu, awal bulan Maret 1993, tanpa aku ketahui sebelumnya, dengan tiba-tiba keluargaku berkemas barang dan sebuah mobil Jip sudah menunggu didekat rumah. Dengan tanpa ada rasa curiga apa yang sedang terjadi saat itu. Padahal waktu itu aku baru pulang sekolah, sekolahku di SD Impres Pasawahan, saat ini lokasi sekolahanku berada tepat bersebelahan dengan Golf Bandung Indah dan bekas sekolahanku itu kini menjadi Lapangan Bola dan sebagian menjadi kebun warga setempat. Kini bangunan SDN Pasawahan sudah berpindah tempat ke dekat perumahan Pemda BUDP.
Kembali lagi dengan kepergianku dan keluargaku. Awalnya aku gak tau akan menuju kemana keluargaku membawa aku, tau-tau aku sudah berada di sebuah asrama, dan diketahui bahwa asrama itu berada di jalan Soekarno-Hatta Bandung. Ternyata itu adalah tempat transit karena setelah tinggal beberapa hari disitu dan setelah semua berkumpul aku dan keluargaku dan keluarga yang lain akan pergi lagi. Aku baru tau kalau asrama itu adalah asrama keluarga peserta Transmigrasi.
Dan benar saja, setelah beberapa hari menginap di asrama itu dan terkumpul semua keluarga-keluarga yang lain, semua yang ada di asrama Bandung itu pun bersiap lagi pergi, rombonganku sudah di jalan raya dan baru kuketahui kalau jalan yang aku lalui itu adalah jalan Tol dalam kota Jakarta. Rombongan kami sanpai di suatu tempat, dan ternyata tempat itu sama, asrama peserta Transmigrasi juga, seperti di Bandung.
Di asrama Jakarta ini sama, semua rombongan menginap beberapa hari menunggu jadwal pelayaran kapal. Di hari yang ditentukan Rombongan bergegas lagi ke pelabuhan Tanjung Priok. Di pelabuahan itu aku dan rombongan naik ke kapal, kalau gak salah kapal yang aku tumpangi adalah kapal barang. Kapal yang membawa kami berlayar pergi meninggalkan daratan pelabuhan Tanjung Priok. Dan itu artinya aku tinggalkan juga kota Bandung dan Sekolahku juga teman-temanku. Sedih sekali. Sesak di dada. Betapa tidak kepergian aku dan keluargaku ini tanpa ada yang tau, baik teman-temanku sekelas maupun pihak Sekolah. Ingin berontak tapi tak berdaya, karena masih kecil aku gak tau apa-apa, hanya bisa nurut kemauan keluargaku.
Di atas kapal di lautan lepas dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menuju Pelabuhan Pontianak Kalimantan Barat, perasaan ku bercampur aduk antara senang dan sedih. Senang karena di usiaku yang masih kecil sudah merasakan naik kapal laut mengarungi lautan lepas, Laut Jawa, dari Jakarta, Pulau Jawa menuju Pontianak, Kalimantan Barat. Tak pernah ku sangka sebelumnya. Di masa kecilku aku sudah menyeberangi lautan, seumur-umur baru kali itu aku mengalaminya. Ada perasaan bangga tak terkira dalam hatiku kala itu.
Namun dalam perasaan banggaku, senangku, bahagiaku, dalam hatiku ada perasaan sedih yang mendalam. Sedih karena harus meninggalkan semua yang ada di Bandung. Rumahku, teman-temanku, sekolahku dan semuanya. Awalnya aku sangka hanya sebentar, dan mungkin beberapa bulan saja di Kalimantan lalu pulang lagi ke Bandung. Tapi ternyata aku tinggal di Kalimantan lama sekali, kurang lebih 5 (lima) tahun. Sebuah waktu yang tidak sebentar.
Masih di bulan Maret 1993, kami dan rombongan sampai di lokasi perumahan Transmigrasi itu. Inilah alamatku disana;
Rumah orangtuaku di Jalur 2 (RT 2/Rw 1) dan rumahku, kakek-neneku di Jalur 4 (RT 4/Rw 3). UPT V/I Desa Balai Harapan (Gana), Kec. Nanga Tempunak, kab. Sintang – Kalimantan Barat.
Begitu sampai, semua keluarga tidak langsung menempati rumah, tapi di undi dulu untuk mendapatkan nomor rumah. Jadi, setiap rombongan nanti menjadi terpisah mendapatkan rumah sesuai nomer rumah yang didapatkannya saat diundi tadi. Orangtua dan kakek-nenek. Karena dari bayi bersama kakek-nenek jadi aku tinggal di rumah kakek tidak tinggal di rumah orangtuaku.
Tidak terasa, hari berganti hari, kujalani kehidupan di tempat yang sangat asing, dengan keadaan lingkungan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Disekeliling rumah masih terdapat semak belukar dan tunggul-tunggul pohon yang di tebang untuk perumahan trans itu. Di depan perumahan, sebelah kanan ada Gereja, dan sebelah kiri perumahanku masjid, kurang lebih jaraknya 150 meter dari masing-masing bangunan tempat ibadah itu.
Namun, yang kurang adalah tidak ada bangunan sekolah, yang ada Balai Desa dan kantor-kantor pengurus perumahan Trans itu. Maka, begitu aku tinggal disana, aku tidak melanjutkan sekolah. Sekolah baru dibikin setelah beberapa bulan, atau beberapa tahun kemudian, soalnya aku gak ingat. Keseharianku sdan semua penghuni perumahan Trans itu adalah bertani. Rumah kami terbuat dari papan dan semuanya rumah panggung. Jadi, di kolong rumah bisa di buat kandang binatang, Ayam, Bebek atau apa saja. Ada juga yang dibiarkan kosong.
Aku melanjutkan sekolah lagi, dengan menggunakan bangunan Balai Desa dan Gereja dan beberapa kantor desa. Namun sayangnya, aku sekolah mulai dari awal lagi, bukan melanjutkan dari kelas yang tinggalkan sewaktu di Bandung.
Aku di ajar oleh Guru honorer yang sudah ada di perumahan Trans sebelum aku, namanya bu Sri Utami. Alhamdulillah, di Kelas satu SD aku sabet semua juara kelas, aku dapatkan rengking pertama, dan itu membuat semua guruku bangga. Di kelas dua SD, rengking pertama tetap aku yang sandang. Alhamdulillah, ketika aku masih kelas dua SD, pemerintah membangun gedung Sekolah dan sekolah kami di pindahkan ke gedung sekolah baru dengan di datangkan juga guru-guru baru dari kecamatan dan kabupaten.
Bersambung…
Dilanjutan ke.…
Kalimantan Barat Semua Ceritaku Berawal (bag.2)
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...