“Sejak diturunkan ke bumi, Hawa terus memikirkan Nabi Adam. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa ia sanggup hidup sendirian di bumi ini? Hawa bertekad untuk bertemu Nabi Adam. Hawa terus berjalan menyusuri bumi. Sesekali ia beristirahat sambil makan bua...h-buahan. Ia terus berdoa kepada Allah agar segera dipertemukan dengan Nabi Adam. Hawa tiba di sebuah padang pasir dan bukit yang sangat gersang. Ia sudah sangat kelelahan dan hampir putus asa. Kemudian ia berdoa kepada Allah dengan sangat khusyuk. Rupanya Allah mengabulkan doanya. Hawa melihat sosok yang sangat ia kenali. Ia adalah Nabi Adam. Hawa memanggil Nabi Adam dan Nabi pun memanggil Hawa dengan penuh kerinduan. Inilah saat yang paling membahagiakan bagi mereka.”
Itulah sepenggal
kisah tentang pertemuan Adam dan Hawa di bumi dalam buku “Ensiklopedia
Kisah Al-Qur’an” terbitan Gema Insani Press. Mungkin kisah ini pun
menggambarkan manusia pada umumnya. Tabiat perempuan yang peduli
tergambar jelas dalam penggalan cerita diatas. Hawa terus memikirkan
Nabi Adam dan ingin segera bertemu dengan Nabi Adam. Apa alasannya?
Ternyata, bukan karena sekadar melepas rindu dirinya pada Adam, tapi
lebih memikirkan bagaimana keadaan Nabi Adam sekarang? Apakah Adam
sanggup hidup sendiri di bumi? Hawa tak memikirkan dirinya sendiri.
Itulah sifat dasar perempuan, ketika memutuskan sesuatu ia selalu
mempertimbangkan orang lain bukan hanya kepentingan dirinya sendiri.
Ya, karena Allah menciptakan Hawa untuk menemani Adam ketika di syurga.
Allah tahu bahwa Adam tak bisa hidup sendiri. Walaupun dengan
kenikmatan-kenikmatan syurga yang telah ia dapatkan, tetap saja seorang
Adam membutuhkan teman. Maka, Allah ciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam
untuk menemani Adam di syurga.
Ketika diturunkan ke bumi dan
mereka berpisah, maka naluri masing-masing pasti akan saling mencari.
Dan dalam pencarian disini digambarkan secara jelas kekhawatiran Hawa
akan kondisi Adam di bumi: sanggupkah Adam hidup sendirian?
Hawa pun terus berusaha menelusuri bumi demi bertemu Adam. Uniknya,
dibuku ini tak diceritakan bagaimana usaha Adam menemukan Hawa, tapi
lebih kepada bagaimana usaha Hawa menemukan Adam. Pastinya tak bisa
dipungkiri juga bahwa tentunya Adam pun berusaha keras untuk bertemu
dengan Hawa karena di syurga yang penuh kenikmatan saja Adam membutuhkan
seorang teman, bagaimana dengan ketika di bumi yang berbeda jauh dari
segi kenikmatan di syurga? Tentu Adam sangat membutuhkan seorang teman
terlebih ketika berada di bumi. Dan tentunya ada rasa kehilangan ketika
Hawa yang biasanya menemaninya di syurga tak ada disisinya.
Memang agak sedikit berbeda, penggambaran pertemuan itu diangkat dari
sisi Hawa yang berusaha bertemu Adam. Tak diceritakan pencarian seorang
Adam namun lebih ditekankan pada pencarian seorang Hawa yang menunjukkan
rasa pedulinya pada Adam. Hawa terus berjalan, beristirahat, berdoa
ditengah lelah. Hingga akhirnya ditengah lelah yang begitu sangat dan
dalam kondisi hampir putus asa, di gurun pasir yang panas dan gersang,
doa khusyuknya dikabulkan Allah dan dipertemukanlah ia dengan sosok yang
ia kenal. Ya, ternyata Hawa-lah yang mengenali Adam lebih dulu ketika
bertemu. Sungguh, tulang rusuk mengenali siapa pemiliknya.
Mungkin akan terlontar pertanyaan begini: “Nabi Adam dan Hawa itu kan
cuma dua-duanya manusia di bumi. Jadi ketika bertemu mudah untuk saling
mengenali. Lantas bagaimana dengan kita yang jumlah penduduk bumi sudah
sekian milyar banyaknya? Bagaimana kita bisa tahu bahwa dialah tulang
rusuk kita (bagi laki-laki) atau dialah pemilik tulang rusuk ini (bagi
perempuan)?
Disinilah letak proses ta’aruf itu berperan.
Tentunya ta’aruf yang syar’I, bukan sekadar kata ta’aruf namun jauh
nilai-nilanya dari sebuah proses ta’aruf. Ta’aruf lah ajang saling
mengenal yang [katanya] akan terasakan disana siapa tulang rusuk atau
pemilik tulang rusuk kita.
Mari kutunjukkan kisah dua orang
akhwat. Ada seorang akhwat yang merasa klop dengan seorang ikhwan,
merasa saling cocok, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk ta’aruf.
Dalam proses ta’aruf, ternyata istikharah sang akhwat tak mantap dan ada
keraguan disana. Ta’aruf pun kandas ditengah jalan. Awalnya sebelum
ta’aruf, sang akhwat menganggap bahwa ikhwan itulah pemilik tulang
rusuknya. Tapi ternyata, setelah ta’aruf, bukan ikhwan itu pemilik
tulang rusuknya.
Qadarullah, sang akhwat dipertemukan dengan
seorang ikhwan yang belum pernah dikenal dan dipertemukan dalam sebuah
proses ta’aruf. Sang akhwat pun mantap, tak ada keraguan sedikit pun
dalam istikharahnya. Akhirnya, mereka menikah.
Satu lagi, ada
seorang akhwat yang memblacklist seorang ikhwan untuk menjadi calon
suaminya karena merasa tidak cocok secara karakter. Namun ternyata sang
ikhwan berkeinginan untuk ta’aruf dengan sang akhwat. Awalnya sang
akhwat menolak untuk berta’aruf dengan sang ikhwan. Atas nasihat sang
guru ngaji dan istikharah beberapa kali, sang akhwat pun mencoba untuk
berta’aruf dengan ikhwan yang dimaksud. Hingga akhirnya, mereka menikah.
Terlihat jelas bukan? Bahwa memang hanya sebuah proses ta’aruf yang
syar’i-lah yang bisa mendatangkan petunjuk Allah. Dan sebaik-baik
petunjuk itu adalah petunjukNYA.
Ada sebuah penggalan dalam artikel yang pernah dibaca:
“Kalau kita tidak mau mencoba ta’aruf, bagaimana mungkin kita tahu ia
jodoh kita atau bukan. Kalau kita ta’aruf, kita akan tahu. Jika
berhasil, berarti jodoh. Kalau belum berhasil, berarti belum jodoh. Iya,
kan?!”
(untuk baca lebih lengkapnya bisa klik ini: http://agupenajateng.net/ 2010/12/19/ langit-tak-selamanya-biru/ )
Jadi, memang benar, kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di dunia,
kita takkan pernah tahu siapa pemilik tulang rusuk kita (bagi
perempuan), atau siapa tulang rusuk kita yang belum ditemukan (bagi
laki-laki), sebelum proses ta’aruf. Dari proses ta’aruflah, Allah
memberikan petunjukNYA, menunjukkan siapa yang terbaik untuk kita.
So, buat para ikhwan yang sedang merasa seseorang itu sebagai tulang
rusukmu, cobalah ta’aruf dulu. Baru kamu bisa bilang kalo dia tulang
rusukmu atau bukan setelah proses ta’aruf. Dan tentunya disertai
musyawarah dan istikharah. Dua hal inilah yang tak boleh ditinggalkan
ketika proses ta’aruf.
Dan buat para akhwat yang berkali-kali
gagal dalam proses ta’aruf, yakinlah memang mungkin belum saatnya
dipertemukan dengan pemilik tulang rusukmu. Bersabarlah dan teguhkanlah
kesabaranmu. Insya Allah semua kan indah pada waktunya.
Pada
akhirnya, sebaik-baik jodoh adalah jodoh di akhirat, jodoh yang kekal.
Namun sejatinya kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di akhirat.
Karena belum tentu jodoh di dunia juga otomatis jodoh di akhirat. Maka
yang bisa diikhtiarkan saat ini adalah mencari jodoh di dunia untuk
membawanya menjadi jodoh di akhirat pula.
“Ya Allah Ya Tuhan
kami, karuniakanlah kepada kami nikmat di dunia dan juga nikmat di
akhirat. Dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka..”
Aamiin..
dia
sebuah nama yang belum tereja
dia
sebuah rupa yang belum tersketsa
dia
sebuah sosok yang entah dimana
dia
calon nahkoda
sebuah biduk rumah tangga
dia
kuyakin ada
karna hati yang merasa
Rabbana
Jaga ia dimanapun berada
Mudahkan langkahnya
Tunjukkan jalannya
Luruskan niatnya
Bulatkan tekadnya
Mantapkan hatinya
Berkahilah rizkinya
Hingga akhirnya
KAU pertemukan aku dengannya
Dalam suatu ikatan suci nan mulia
Mitsaqan ghalizha
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...