Perubahan pada umat Islam adalah kebutuhan yang bersifat niscaya. Karena umat Islam tidak boleh berada pada kondisi stagnan atau kevakuman. Ia harus beranjak dari suatu keadaan ke keadaan yang lebih baik. Ia harus meninggalkan perpecahan menuju persatuan; membuang kebodohan dan menggantikan dengan pemahaman dan ilmu; mengubah kiblat dari membebek kepada orang-orang kafir menjadi patuh dan tunduk kepada Alloh SWT dan Rasulullah SAW. Beranjak dari berpikir dan bertindak parsial menuju berpikir dan bertindak komprehensif dan integral. Ini dari sudut perjuangan.
Dari sudut sunnatullah, masyarakat yang tidak mampu melakukan perbaikan akan binasa. Baik karena ia tidak dapat menghadapi tantangan hidup. Atau karena di binasakan oleh Alloh SWT. Fahamlah kita bila Alloh SWT menjamin bahwa Dia tidak akan membinasakan satu negeri manakala di dalamnya ada orang-orang yang melakukan perbaikan. Firman-Nya : “dan tidaklah Tuhan-Mu membinasakan negeri-negeri secara zalim sementara penduduknya melakukan perbaikan (islah),” (QS. Hud:117).
Jaminan Alloh untuk tidak membinasakan sebuah negeri ini bukanlah sekedar keberadaan orang-orang shaleh di negeri tersebut, malainkan hanya dengan keberadaan orang-orang yang senatiasa melakukan perbaikan. Oleh karena itu da’wah yang akan berhasil adalah da’wah yang mencetak anashirut-taghyir (agent of change).
Da’wah sendiri, secara ideal, bertujuan menciptakan perubahan dan mencetak para perubah. Tentu saja untuk menghasilkan orang-orang yang menjadi anashirut-taghyir harus di awali dengan pembinaan atau tarbiyah yang layak. Pijakan paling asasi dalam tarbiyah agar mampu mewujudkan para agen perubahan itu adalah pembinaan manusia secara utuh, yakni pembinaan secara seimbang ketiga unsur manusia. Yakni unsur ruh, akal dan jasad.
Karena kader yang didambakan Islam bukanlah kader yang hanya unggul dalam salah satu sisi saja, Sambil mengabaikan sisi-sisilainnya. Da’i semacam itu bukan saja tidak ideal menurut Islam, melainkan juga ia tidak akan mempu mengusung cita-cita da’wah yang besar. Yakni membentuk pribadi muslim, keluarga Islami, negara Islami, khilafah Islamiyah, dan menjadi pelopor peradaban dunia.
Munculnya syaksiyyah da’iyah yang mampu melakukan reformasi (islah). Untuk bisa menjadi anashirut-taghyir bukan lagi impian, bila asas pembinaan seperti di atas benar-benar dipakai. Anashirut-taghyir mempunyai beberapa karakteristik. Dan karaktersitik itu harus diwujudkan melalui pemprograman pembinaan yang akurat menyangkut tiga unsur diatas. Karakteristik itu adalah :
1. Rabbaniyyatusy-syaksiyyah
Rabbaniyyatusy-syaksiyyah (kepribadian yang rabbani) adalah syarat mutlak untuk seseorang untuk bisa menjadi pengubah ke arah kebaikan. Pribadi rabbani adalah pribadi yang tercelup dengan wahyu. Pribadi yang mengislamkan aqidah, ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, budaya dan seluruh aspek hidupnya. Pribadi rabbani bukanlah orang yang hanya berbekal semangat yang menggebu-gebu.
Pribadi rabbani tidak mungkin terwujud tanpa keakraban dengan kitabullah. Baik dalam mengkaji maupun dalam mengajarkannya. Firman-Nya, “jadilah kamu rabbaniyyin karena kamu selalu mengajarkan kitabullah dan karena kamu selalu mempelajarinya.” (QS. Ali Imran:79).
Ini jelas tidak mungkin dicapai dengan pola pembinaan yang concern pada Al Qur’an. Dan perhatian pada Qur’an ini harus dimulai dari program yang palin dasar. Dari mulai tahsin tilawah (memperbaiki bacaan), mempelajari tajwid, wirid bacaan tiap hari, perenungan (tadabur), hingga upaya pemahamannya dari segala segi dan tentu saja upaya aplikasi.
Gerakan apapun merk-nya, sekeren apapun kemasannya, mustahil mampu memunculkan da’i rabbaniyyah bila ia mengabaikan kedekatan dengan Qur’an. Betapapun ia mempunyai semangat yang berkobar-kobar, atau memiliki kalihaian berdebat yang tiada tanding, atau berpenampilan seperti orang-orang tawadlu’ dan khusyu.
2. Ijabiyyatur-ru’yah
Ijabiyyatur-ru’yah artinya selalu mempunyai sisi pandang positif. Gerakan Islam yang baik bukanlah gerakan yang pandai mengkritik keadaan dan lihai memprotes apa yang dilakukan orang lain, seraya memandang kehidupan yang ada di luar programnya dengan pandangan kelabu bahkan hitam pekat. Pada orang lain tidak ada yang bernilai kebaikan. Sebab kebaikan hanya ada atau datang dari diri atau kelompok sendiri.
Imam Syafi’i mengatakan, “pendapatku, menurutku adalah kebenaran namun yang mengandung kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah namun mempunyai kemungkinan benar.”
Pandangan positif ini pula yang akan mampu membentuk jiwa optimistik. Al Qur’an melarang keras umatnya bersifat pesimistik. “Janganlah kalian berpuasa dari rahmat Alloh.” Bagaimana seorang da’i akan membawa ke arah perubahan yang lebih baik padahal ia tidak memiliki sekedar seberkas harapan bahwa hari depan milik Islam.
Imam Hasan Al Banna menyebutkan, keyakinan bahwa masa depan ada di tangan Islam adalah salah satu dari tiga ciri jiwa yang hidup (yaqzhatur-ruh). Ciri pertama dan keduanya adalah : mengimami Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, dan merasa bangga ketika ia berafilasi dengan Islam itu.
Adalah merupakan kegagalan manakala sebuah gerakan da’wah tidak mampu menggambarkan cita-cita da’wah yang sesungguhnya. Dan kegagalan itu lebih parah lagi manakala tidak mampu membangkitkan optimisme dalam perjuangan. Sehingga dia tanazul (mengalah) untuk tidak memperjuangkan seluruh cita-cita da’wah dan hanya cukup dengan bagian-bagian yang parsial saja.
Dan lebih parah lagi dari itu adalah manakala sebuah gerakan Islam mengambil pandangan bahwa cara apapun boleh saja ditempuh asal tujuan da’wah bisa “tercapai”. Ini menunjukkan dua kesalahan. Pertama ia pesimis dengan cara-cara yang digariskan Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW, lalu merasa dipaksa oleh keadaan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat itu sendiri. Kedua, ia salah dalam memahami tujuan. Ia mempersepsi tujuan sebagai kekuasaan, entah dalam daulah atau khilafah. Lalu untuk tujuan itu akhlak dan kebersihan jiwa dianggap menjadi perintang jalan. Oleh karena itu maka seorang agen perubahan harus memiliki sifat :
3. Akhlaqiyatul-Wasail
Artinya mengunakan sarana, alat, dan cara akhlaki. Cita-cita da’wah yang besar itu tidak boleh dicapai dengan mengabaikan akhlak. Sebab akhlak itu sendiri adalah bagian penting dari bangunan Islam. Disinilah letak intelektualitas dan kapasitas keilmuan sebuah jama’ah di uji. Letak ujiannya terletak pada sejauh mana kemampuan para aktifisnya mengambil pilihan-pilihan dalam menggapai tujuan dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam.
Islam telah mengajarkan umatnya tetap berakhlak dalam keadaan membenci sekalipun. Firman-Nya, “ dan janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum menyebabkan kamu tidak adil, (tetap) berlaku adilah.” Dan pembinaan akhlak boleh jadi memerlukan waktu lebih panjang ketimbang waktu yang dibutuhkan untuk “pelatihan” ibadah dan penanaman aqidah. Oleh karena itu, gerakan yang bertumpu pada istimroriyyatut-tarbiyah (tarbiyah countinu) adalah gerakan yang dapat diharapkan mampu melahirkan anashirut-taghyir itu.
4. Waqi’iyyatul-Mu’amalat
Kunci dari perubahan adalah memahami realitas. Orang yang tidak memahami realitas mustahil akan mempu merubahnya ke arah yang lebih baik. Ibarat orang yang ingin menambah bangunan satu lantai menjadi tujuh lantai, dia boleh saja bersemangat untuk melakukannya. Namun apa jadinya bila bangunan satu lantai yang ada itu dalam keadaan bobrok atau bukan dengan kontruksi yang tujuh lantai.
Konsekuensi memahami realitas adalah memperlakukan realitas itu secara realistis pula. Realistiskah menganggap semua orang Islam Indonesia siap diajak bergabung dalam perjuangan Islam? Dan sebaliknya, realistiskah mengeneralisir semua orang Islam Indonesia – selain kelompoknya – adalah jahiliyah, kufur atau apapun, selain kelompoknya.
Sukses gerakan Islam adalah manakala ia mampu menghubungkan antara idelita dan realita. Lalu dia mengarahkan realitas itu – secara realistis – untuk mendekati idelita. Dan dalam batas-batas yang dibenarkan, kita harus terjun di dunia realitas untuk sedikit demi sedikit membenahinya. Itulah yang disebut dengan waqi’iyyatul-mu’amalat (realitas dalam bersikap).
Dan Islam kini tengah menanti orang-orang yang secara hakiki menghasungnya. Orang-orang yang bukan saja mempunyai emosi namun juga memiliki nalar dan mental yang prima untuk melakukan perubahan besar-besaran, hingga seluruh ketundukan hanya terpulang kepada Alloh SWT saja.
Tate Qomarudin,Saksi,no.21, juni 2000
_
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...