Rasulullah pernah bersabda, “Pukullah anak-anak karena meninggalkan
shalat pada usia tujuh tahun, pisahkan tempat tidurnya pada usia
sembilan tahun, dan kawinkanlah pada usia 17 tahun jika memungkinkan.
Apabila perkawinan dilakukan, maka suruhlah si anak duduk di hadapan
bapaknya, kemudian katakanlah, ‘Mudahmudahan Allah tidak menjadikan kamu
dalam fitnah di dunia, tidak pula di akhirat’.”
Anak gadis sudah memungkinkan untuk dinikahkan kalau ia dipersiapkan
untuk memasuki masa dewasa sejak awal. Seorang gadis bahkan dapat
memiliki kesiapan dan kedewasaan lebih dini dibanding anak laki-laki.
Wanita memang cenderung lebih cepat matang dibanding laki-laki.
Dari Anas Radhiyallahu ‘Anh, Rasulullah Al ma’shum bersabda, “Barangsiapa
mempunyai anak perempuan yang telah mencapai usia dua belas tahun, lalu
ia tidak segera mengawinkannya, kemudian anak perempuan tersebut
melakukan suatu perbuatan dosa, maka dosanya ditanggung oleh dia
(ayahnya).” (HR. Baihaqi).
Pebuatan dosa. Perbuatan dosa apakah yang menyebabkan ayah ikut menanggung dosanya? Wallahua’lam bishawab.
Jika kita perhatikan, insya Allah kita akan mendapat pengetahuan bahwa
perbuatan dosa yang seorang ayah ikut menanggung dosanya bila tidak
segera mengawinkan anak perempuannya adalah dosa-dosa yang berkait
dengan dorongan gharizah (naluri) untuk berdekat-dekat dengan lawan jenis. Pada usia-usia yang rawan ini, gejolak mudah membakar dada.
Akan tetapi, apakah ia sudah memungkinkan untuk dikawinkan?
Saya tidak bisa menjawab. Anda yang lebih tahu siapa anak Anda. Anda
yang lebih tahu bagaimana Anda mempersiapkan anak Anda memasuki masa ‘aqil-baligh.
Apakah persiapan yang Anda berikan melalui pendidikan semenjak kecil
telah mengantarkannya menjadi wanita yang betul-betul mencapai ‘aqil-baligh, taklif(dewasa dan bertanggungjawab) dan sekaligus telah memiliki keterampilan untuk menasharufkan harta (manajemen anggaran) di rumah?
Sekarang ia sudah memasuki masa taklif. Jika ia belum
terampil, insya Allah kelak akan memiliki keterampilan yang diperlukan.
Sedang saat ini, yang diharapkan adalah kepekaan ayah untuk cepat
tanggap terhadap apa yang dirasakan oleh anak gadisnya.
Ketika seorang laki-laki datang meminang, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh seorang ayah.
Memperhatikan Agama
Pernah, ada orang bertanya kepada Al Hasan Radhiyallahu ‘Anh mengenai
calon suami putrinya. Kemudian Al Hasan Radhiyallahu ‘Anh menjawab, “Kamu
harus memilih calon suami (putrimu)yang taat beragama. Sebab, jika dia
mencintai putrimu, dia akan memuliakannya. Dan jika dia kurang menyukai
(memarahinya), dia tidak akan menghinakannya.”
Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Rasulullah bersabda: “Jika
datang kepada kalian (hai calon mertua) orang yang kalian sukai
(ketaatan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan
putrimu). Sebab, jika kamu sekalian tidak melakukannya, akan lahir
fitnah (bencana) dan akan berkembang kehancuran yang besar di muka
bumi.”
Kemudian ada yang bertanya,
“Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang (pemuda) itu mempunyai (cacat atau kekurangan-kekurangan)?”
Maka, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, (mengulangnya tiga kali)“Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)!” (HR Imam Tirmidzi dari Abu Hatim Al Mazni).
Pada hadis ini –sampai-sampai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengulang jawaban tiga kali- seorang ayah diperingatkan agar
memperhatikan orang yang beragama dan berakhlak bagus. Akhlak yang bagus
adalah sebagian tanda-tanda bagusnya agama seseorang.
Tanda ini lebih kuat daripada tanda lainnya, misal pengetahuan agama
dan lingkungan. Dua hal yang disebut terakhir ini menjadi pertimbangan
pendukung mengenai agama dan akhlak orang yang berniat menjadi suami
putri Anda.
Seorang ayah bisa mencari pengetahuan mengenai laki-laki yang
meminang anak gadisnya dengan seksama sebelum mengambil keputusan.
Antara lain, ia dapat menanyai orang yang dekat dengan calon menantunya.
Ia juga bisa menanyakan kepada orang-orang yang dapat dipercaya (tsiqah).
Sebelum membicarakan masalah lain, marilah kita renungkan peringatan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan laki-laki itu meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak pernah pernikahan itu akan dibarakahi-Nya.”
Meminta Izin Anak
Pernikahan berkaitan langsung dengan perasaan anak gadis yang insya
Allah akan mendampingi suaminya seumur hidup. Dialah nanti yang akan
merasakan manis-indahnya pernikahan ataupun pahit-getirnya perpisahan,
kalau ternyata cinta tak bisa tumbuh juga. Oleh karena itu, seorang ayah
perlu meminta izin kepada anak gadisnya sebelum menikahkan. Islam
menolak pemaksaan orangtua atas anak gadis agar mau menikah dengan
laki-laki pilihan orangtua, sedang ia sendiri tidak menyukai. Pemaksaan
dapat menjerumuskan anak kepada dosa besar. Minimal dosa karena tidak
taat pada suami, termasuk dalam melayani keinginan suami di tempat
tidur, karena tidak ada kehangatan cinta di hatinya. Padahal, penolakan
istri untuk melakukan hubungan intim termasuk perkara yang sangat
dilaknat oleh agama.
Dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang hamba sahaya yang masih gadis datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian dia melaporkan bahwa dia dikawinkan oleh ayahnya, padahal dia
tidak suka terhadap laki-laki pilihan ayahnya itu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan terhadapnya. Demikian hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad Daruquthni.
Dan dari ‘Aisyah, bahwa ada seorang remaja putri dikawinkan dengan
seorang laki-laki kemudian dia berkata, “Sesungguhnya ayah telah
mengawinkanku dengan anak saudaranya agar kehinaannya dapat terangkat
karena aku. Sedangkan aku tidak menyukainya.”
Kemudian ‘Aisyah berkata, “Duduklah”, sehingga Ra-sulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Lalu aku mengabarkannya. Kemudian Rasulullah mengutus seseorang kepada ayahnya untuk mengundangnya ke rumah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah menyerahkan perkara itu terhadap sang gadis tersebut. Lalu gadis itu berkata, “Ya
Rasulullah, sebenarnya aku telah rela terhadap apa yang telah diperbuat
ayahku terhadapku, akan tetapi aku berkeinginan untuk memberitahukan
kepada wanita-wanita tentang sesuatu dalam masalah ini.” (HR An-Nasa’i).
Maka, sebelum memberi jawaban kepada peminang, tanyakanlah kepada
anak gadis Anda. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah
seorang janda dikawinkan, sehingga dia dimintai persetujuannya dan
tidak pula seorang gadis hingga dia dimintai persetujuannya.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah persetujuannya?” Rasulullah menjawab, “Persetujuannya adalah pada saat dia diam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Al-Bukhari dan Muslim juga pernah meriwayatkan dari ‘Aisyah, dia berkata, “Ya Rasulullah, apakah wanita-wanita harus dimintai persetujuannya jika mereka akan dikawinkan?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya”.
Aku bertanya lagi, “Sesungguhnya seorang gadis jika dimintai
persetujuannya, kemudian dia diam, karena malu?” Rasulullah bersabda: “Diamnya itu adalah persetujuannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Syaikh Yusuf Qardhawi mengingatkan, seorang gadis kadang-kadang
merasa malu untuk menjelaskan tentang persetujuannya itu dan dia juga
malu untuk menampakkan bahwa dia sudah berkeinginan untuk melangsungkan
perkawinan.
Sedangkan diamnya itu menunjukkan kebersihannya dari segala penyakit
yang dapat mencegahnya dari hubungan seksual, atau adanya sebab lain
yang tidak baik untuk melangsungkan pernikahan dengan laki-laki itu, di
mana sebab-sebab itu tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, kecuali
dia sendiri. Wallahu A’lam. Demikian kutipan saya dari Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah (Al-Kautsar, 1996).
Selain meminta izinnya, berikanlah kesempatan kepadanya untuk
mengetahui siapa calon suaminya, terutama jika calon suami itu pilihan
Anda sedang anak gadis Anda belum mengenalnya. Biarkanlah anak gadis
Anda untuk menilai sendiri calon suaminya, apakah ia menyukai atau
tidak. Anda bisa memberikan informasi, memberi keterangan seperlunya
tentang si calon. Tetapi sebaiknya tidak banyak mempersuasi (membujuk)
dengan menampakkan yang baik-baik saja. Sebab persuasi dapat menimbulkan
harapan-harapan yang akan ia peroleh ketika akad nikah telah
dilaksanakan.
Sehingga bisa jadi ia mengalami kekecewaan justru karena terlalu tingginya harapan yang muncul lantaran persuasi Anda. Padahal, pada mulanya ia tak banyak mengharapkan hal-hal yang tidak mendasar.
Sebagian gadis menikah dengan orang yang belum pernah dikenalnya sama
sekali dan baru melihat laki-laki yang menikahinya ketika akad nikah
telah selesai, yaitu saat pertama kali memasuki kamar pengantin. Mereka ridha dengan suaminya.
Tetapi ini tidak berlaku umum. Sehingga Anda tidak bisa mengambilnya
sebagai hukum yang Anda terapkan begitu saja kepada anak gadis Anda.
Anda perlu bersikap tengah-tengah dan memahami kebutuhan anak gadis
Anda, kecuali jika dia telah ridha dengan pilihan Anda tanpa
mensyaratkan apa pun mengenai laki-laki yang akan menjadi suaminya.
Seorang gadis yang tidak diberi kesempatan untuk mengetahui dan
mempertimbangkan calon suaminya, berhak untuk memutuskan hubungan
perkawinan apabila ia tidak rela terhadap suami pilihan ayahnya.
Kesempatan mengetahui ini meliputi hal-hal yang berkenaan dengan segi
lahiriah maupun segisegi yang lebih bersifat psikis dan agama dari si
calon suami.
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS Al Baqarah: 229).
Kasus gagalnya perkawinan karena istri belum mengetahui calon
suaminya pernah terjadi di masa Rasulullah. Ketika menikah, Hadiqah
tidak pernah bertemu dengan Tsabit bin Qais kecuali pada malam pengantin
mereka. Sang istri sangat terkejut dengan suami yang dijumpainya pada
malam pengantin itu dan secara spontan timbul keinginan untuk berpisah.
Hadiqah berkata kepada Rasulullah, “Tampaklah apa yang tidak saya
ketahui pada malam pengantin kami. Saya pernah melihat beberapa orang
laki-laki, namun suami saya adalah laki-laki yang paling hitam kulitnya,
pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya. Tidak ada satu kebagusan
pun yang saya temui pada dirinya. Saya tidak mengingkari kebagusan
akhlaknya dan agamanya, ya… Rasulullah, tetapi saya takut menjadi kafir
jika tak bercerai darinya. Saya takut jika terus-menerus maksiat padanya
karena ketidaktaatan saya pada suami, dan saya tahu itu menyalahi
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggil Tsabit dan berkata kepadanya,“Temui istrimu, Hadiqah dan ceraikan ia sebagaimana layaknya, biarkan mahar itu menjadi haknya.”
Kisah Hadiqah dan Tsabit bin Qais ini juga disampaikan oleh Imam Bukhari dalamshahihnya. Sesungguhnya, kata Ibnu Abbas, istri Tsabit bin Qais telah menghadap kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Ia berkata, “Ya Rasulullah, saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi saya tidak mau kufur dalam Islam.” Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah Anda mengembalikan kebun-kebunnya?” Ia menjawab, “Ya.”
Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit),“Terimalah kebun itu, dan talaklah istrimu itu satu kali.”
Ada hadis lain yang meriwayatkan kisah Tsabit bin Qais ini. “Amr bin
Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu ‘Anh dalam riwayat Ibnu
Majah; Sesungguhnya Tsabit bin Qais itu adalah orang yang buruk rupa
dan bentuknya, dan istrinya berkata, “Kalau saya tidak takut pada Allah, tentu saya ludahi muka suami saya itu apabila mendatangi saya”. Dan dalam riwayat Ahmad dari hadis Sahal bin Abi Hasmah, “Dan kejadian itu adalah permulaan khulu’ dalam Islam.”
Khulu’ merupakan hak istri untuk meminta cerai karena sebab tertentu yang kuat.
Jadi, sebelum menikahkan anak gadis Anda dengan laki-laki yang
meminangnya, tanyakan dulu apakah ia setuju atau tidak. Berikan
kesempatan padanya untuk mengetahui calon suaminya agar lebih dapat
mengekalkan hubungan kalau ia ternyata rela dan menyukai. Ada pun kalau
ia tidak menyukai, ini lebih baik daripada terlanjur menikah. Kalau
sudah terlanjur, silaturrahmi bisa rusak.
Meminta Pertimbangan Istri
“Berkonsultasilah terhadap wanita-wanita dalam masalah anak-anak perempuan,” kata Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud. Dalam
hadis ini terdapat rawi yang majhul, tetapi banyak hadis yang maknanya
senada dengan hadis ini. Begitu Syaikh Yusuf Qardhawi memberi
keterangan.
Al-Imam Abu Sulaiman Al Khaththabi memberikan beberapa catatan
penting dalam menyampaikan kesimpulan mengenai hadis-hadis tersebut.
Beliau mengatakan, “Berkonsultasilah dengan kaum ibu dalam masalah
perkawinan anak-anak perempuan mereka, bukan berarti bahwa mereka
mempunyai wewenang terhadap akad nikah tersebut. Akan tetapi dipandang
dari segi kebaikan dan perbaikan terhadap diri mereka dan dalam segi
menggauli mereka dengan baik.
Dan karena upaya itu lebih dapat mengekalkan persahabatan dan akan
dapat menimbulkan rasa cinta kasih di antara anak-anak gadis mereka
dengan sang suami. Hal ini dapat terjadi jika akad nikah itu atas dasar
kerelaan dari ibu-ibu mereka dan sesuai dengan keinginan mereka. Dan
jika akad pernikahan itu di luar kerelaan ibu-ibu mereka, maka bisa jadi
ibu-ibu mereka merongrong suami mereka. Dia juga akan menimbulkan
kerusakan terhadap hati anak gadisnya. Sedangkan anak-anak perempuan,
biasanya lebih cenderung terhadap ibu-ibu mereka dan akan lebih menerima
perkataan yang datangnya dari ibu-ibu mereka.
Dengan adanya permasalahan yang seperti ini, maka berkonsultasi
dengan sang ibu adalah sunnah hukumnya dalam masalah akad pernikahan
anaknya. Wallahu A’lam.”
Beliau juga pernah berkata, “Dan terkadang juga hal itu menjadi
penting oleh karena adanya alasan-alasan tertentu, selain apa yang telah
kita sebutkan di atas. Dan hal itu karena mungkin seorang wanita lebih
mengetahui tentang masalahmasalah khusus yang terdapat pada diri
anak-anak perempuan, atau juga dapat mengetahui tentang
kejadian-kejadian yang rahasia, di mana (kalau) anak perempuannya itu
melangsungkan pernikahan dengan orang tersebut, maka hal itu tidak akan
berlangsung lama atau tidak akan memberikan kebaikan. Sedang
alasanalasan itu berada pada ibunya tersebut. Dan adanya penyakit dapat
menggagalkan terlaksananya hak-hak pernikahan. Pendapat ini adalah
sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan
kamu kawinkan seorang gadis, kecuali dengan seizinnya. Sedangkan
persetujuannya adalah diamnya.”
Ketika bertemu Musa ‘Alaihis Salam., Syafura sangat terkesan oleh
sikap dan perilakunya. Ia tidak menunjukkan perasaannya kepada Musa
‘Alaihis Salam karena rasa malu yang besar. Tetapi ia menceritakan
kepada ayahnya, Nabiyullah Syu’aib ‘Alaihis Salam Kelak, Nabi Syu’aib
menikahkan putrinya dengan Musa ‘Alaihis Salam yang di kemudian hari
juga menjadi Nabi. Putri Anda barangkali juga mempunyai
perasaan-perasaan serupa. Ada seseorang yang memiliki tempat khusus di
hatinya. Ada laki-laki yang begitu berarti baginya, meskipun ia tidak
menunjukkan gelagat di hadapan Anda maupun di hadapan lakilaki yang
telah memunculkan kesan membekas dalam jiwanya. Ada halangan kejiwaan
yang membuatnya tidak berani menceritakan kepada Anda. Meski masih ada
rasa malu, kadang-kadang ia berani terbuka pada ibunya atau neneknya
tentang rahasia-rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Ia berani
mengungkapkan bahwa hatinya telah terpaut dengan seorang laki-laki, yang
barangkali berbeda dengan laki-laki yang sempat dipikirkan ayahnya
untuk dijodohkan dengannya.
Dan jika laki-laki yang disukainya itu datang untuk mengawini anak
perempuan itu, kata Syaikh Yusuf Qardhawi, maka orang itulah yang akan
didahulukan dan diterima pinangannya. Sebagaimana yang diisyaratkan di
dalam sebuah hadis shahih:
“Belum pernah terlihat bagi dua orang yang bercinta seperti pernikahan.”
Kuatnya ikatan perasaan antara dua hati, dapat kita baca pada kisah
pernikahan Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh
dengan Atikah binti Amr bin Nufail.
Abu Bakar pernah mengkhawatirkan anaknya sehingga khawatir kalau
perasaan anaknya yang begitu kuat terhadap istrinya, Atikah, akan
mengalahkan pikiran dan agamanya. Ia kemudian menyuruh Abdurrahman untuk
menceraikan Atikah, tetapi Abdurrahman tidak sanggup melakukan. Abu
Bakar terus mendesak, sampai akhirnya Abdurrahman tidak mampu menghadapi
perintah ayahnya. Tetapi perceraian tidak pernah bisa melemahkan ikatan
perasaan dua orang yang diliputi kerinduan.
Perpisahan tidak mematikan perasaan Zulaikha kepada Yusuf dan tetap
menantikan perjumpaan dengan Yusuf, meskipun kecantikannya telah banyak
dimakan usia.
Perceraian Abdurrahman juga demikian. Ia tidak bisa melupakan
kelembutan dan ketinggian akhlak Atikah. Ia mengadukan cekaman
perasaannya kepada Allah dengan bersyair:
“Demi Allah tidaklah aku melupakanmu
Walau matahari kan terbit meninggi
“Dan tidaklah terurai air mata merpati itu
kecuali berbagi hati
“Tidak pernah kudapatkan orang sepertiku
mentalak orang seperti dia,
Dan tidaklah orang seperti dia
Ditalak karena dosanya
“Dia berakhlak mulia, beragama
dan bernabikan Muhammad,
Berbudi pekerti tinggi
bersifat pemalu dan halus tutur katanya
Perpisahan tidak melemahkan ikatan perasaan. Ia justru semakin kuat
dengan disirami air mata. Melihat rintihan tangis anaknya, Abu Bakar
Ash-Shiddiq tidak tega hatinya. Kepada anaknya ia mengatakan, “Wahai
anakku, rujuklah engkau kepadanya kalau memang engkau tidak dapat
melupakannya.”
Maka, rujuklah Abdurrahman kepada Atikah, istri yang sangat
dicintainya. Mereka hidup dalam rumah tangga yang penuh dengan
kebahagiaan hingga Abdurrahman mencapai syahid pada perang Tha’if.
Konon, ketika mendengar kabar syahidnya Abdurrahman, Atikah sangat sedih
disebabkan dalamnya rasa cinta kepada Abdurrahman. Tetapi kecintaannya
terhadap Abdurrahman, tidak menghalanginya untuk melepas Abdurrahman
pergi berjihad. Inilah ketinggian Atikah. Wallahu A’lam bishawab.
Ikatan perasaan demikian kuat. Anak gadis Anda barangkali telah
terpaut hatinya kepada seseorang yang ia rela terhadapnya. Ia berharap
dapat menemani hidupnya sebagai istri shalihah, sekalipun ia belum
pernah bertegur sapa. Ia mempunyai perasaan itu, mempunyai cita-cita
tentang rumah tangga yang akan dibangunnya. Sekali saat, barangkali ia
menceritakan isi hatinya kepada neneknya, kepada ibunya saat ia
menemukan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati, kepada saudara
perempuan yang lebih tua, atau kepada bibinya. Seringkali, seorang gadis
mempercayakan rahasia hatinya kepada mereka. Karena itu, bertanyalah
kepada mereka agar keputusan Anda lebih dekat kepada maslahat dan jauh dari madharatdan mafsadah (kerusakan).
Musyawarah
Musyawarah
Banyak hadis yang menunjukkan keutamaan musyawarah. Al Qur’an juga
memberi perhatian kepada pentingnya musyawarah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah
kepada Allah.” (QS Ali Imran: 159).
Ada musyawarah. Kemudian, ada tawakal yang mengikuti. Yang disebut
terakhir ini seringkali tertinggal, tidak mengikuti hasil musyawarah.
Tak mudah memang. Karena itu, silakan Anda mencari sendiri pembahasan mengenai tawakal ini.
Ada syarat-syarat musyawarah. Musyawarah dengan orang yang memenuhi syarat, dapat memberi manfaat dan lebih dekat dengan maslahat dan
keselamatan akhirat, bahkan keselamatan dunia. Tetapi musyawarah dengan
orang yang tidakmemenuhi syarat, justru lebih dekat kepada madharat dan mafsadat.
Imam Abu ‘Abdillah mengingatkan, musyawarah dengan orang yang tidak
memenuhi syarat lebih besar bahayanya dibanding manfaatnya.
Pembahasan lebih lanjut tentang musyawarah, silakan Anda cari di buku
lain. Saya kira, cukuplah pembahasan saya tentang musyawarah. Semoga
bermanfaat.
Oleh : Moh. Fauzil Adhim/hasanalbanna.com
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...