Bismillahirrahmanirrahim…
Ada banyak cerita yang aku dapatkan
tentang proses ta’aruf selama ini. Dari sekian banyak cerita, ternyata
ada yang sungguh dramatis dan tragis. Seperti apakah ceritanya?
Seperti
judul di atas, cerita ta’aruf yang akan diangkat di sini tentang
pilihan sendiri atau pilihan murabbi. Ada yang pernah bilang: “Salah ga
sih kalo ada ikhwan yang sudah punya pilihan sendiri kemudian mengajukan
sebuah nama kepada murabbinya?”
Tentu hal ini tak salah dan tak
melanggar syar’i. Ketika memang sudah ada kecenderungan dengan seorang
akhwat dan memang sudah siap nikah, maka keberanian mengajukan sebuah
nama kepada seorang murabbi bukanlah hal yang tak syar’i. Banyak yang
bilang bahwa ketika sudah menunjuk sebuah nama, apalagi misalnya satu
organisasi, sering berinteraksi selama ini, khawatir bahwa sudah
terkotori dengan hal-hal yang tak suci. Itu semua hanya kekhawatiran
yang seharusnya diikhtiarkan dengan menjaga prosesnya.
Apakah
proses ta’aruf itu hanya dengan orang yang belum dikenal sama sekali?
Ingatkah kita kisah Fatimah dan Ali? Mereka berdua adalah sepupu, sudah
saling kenal. Ali mencintai Fatimah karena akhlaq Fatimah yang begitu
mulia ketika ia lihat dalam kesehariannya. Begitu pun Fatimah yang
ternyata telah mencintai Ali sebelum menikah dengan Ali. Ingatkah pula
kita kisah Salman Al Farisi yang berkehendak meminang seorang wanita
dengan bantuan Abu Darda? Bukankah Salman memang telah ada kecenderungan
terlebih dahulu pada wanita itu hingga akhirnya meminta Abu Darda
meminangkan wanita itu untuk Salman? Namun memang pada akhirnya, Salman
tak berjodoh dengan wanita itu karena wanita itu menginginkan Abu Darda
sebagai suaminya.
Jadi, memang tak salah jika seorang ikhwan sudah
memiliki kecenderungan terlebih dulu terhadap seorang akhwat dan berani
mengajukan nama kepada murabbinya. Nah kadang yang jadi masalah itu
adalah bagaimana mengkomunikasikan hal ini kepada murabbi.
Yuk, simak dua kisah berikut ini.
Ada
seorang ikhwan yang sudah memiliki kecenderungan dengan seorang akhwat
satu organisasi. Ia pun siap menikah. Namun, dalam prosesnya, ia tak
meminta sang murabbi sebagai fasilitatornya, melainkan meminta sang
kawan yang menjadi fasilitatornya. Hal ini ia lakukan karena sang
murabbi sudah punya proyeksi akhwat untuk ikhwan ini, yang tak lain tak
bukan adalah adik sang murabbi sendiri, ada rasa tak enak mungkin.
Sebenarnya tak masalah jika murabbi bukan sebagai fasilitator proses
ta’aruf, asal dikomunikasikan dari awal. Entah mungkin merasa tak enak
dengan sang murabbi, akhirnya ikhwan itu berproses dengan akhwat
tersebut lewat jalur ‘swasta’, yang ternyata akhwat ini pun punya
kecenderungan yang sama, yang lagi-lagi juga sama, tak mengkomunikasikan
dengan murabbinya. Hingga akhirnya menjelang menikah, barulah mereka
berdua bilang ke murabbinya.
Lantas bagaimana tanggapan sang
murabbi? Murabbi sang ikhwan bilang: “Antum cari aja murabbi
lain…”.Jleb. Dalem euy, hingga akhirnya sang ikhwan ‘kabur’ dari
lingkaran. Begitu pun dengan sang akhwat, ternyata keluar juga dari
lingkarannya. Dan mereka menikah. Namun amat disayangkan karena ternyata
pernikahan mereka tak sesuai yang diharapkan. Ikhwan yang di mata sang
akhwat begitu dewasa ketika dalam organisasi, ternyata begitu kekanakan
dalam rumah tangga. Dan sang akhwat ingin segera bercerai walaupun sudah
dikaruniai seorang anak. Huuffh… apakah ini sebuah pernikahan yang tak
diridhoi murabbi?
Kisah kedua lain lagi ceritanya. Jika cerita
pertama terkesan tak menghargai murabbinya, maka cerita kedua
kebalikannya. Ada seorang ikhwan yang sudah siap menikah dan sudah punya
kecenderungan dengan akhwat yang sudah dikenalnya. Namun kemudian sang
murabbi menawarkan akhwat lain untuk berproses dengannya. Karena sang
ikhwan begitu tsiqah dengan murabbinya terkait masalah jodohnya ini,
maka ia pun menerima tawaran sang murabbi untuk berta’aruf dengan akhwat
pilihan murabbi yang belum ia kenal sebelumnya.
Proses pun lancar
hingga akhirnya diputuskan tanggal pernikahan. Namun apa yang dilakukan
sang ikhwan sepekan menjelang pernikahannya? Ia mengirim email kepada
akhwat yang dicenderunginya itu, mengatakan bahwa ia siap membatalkan
pernikahannya jika sang akhwat meminta untuk membatalkannya. Lantas apa
reaksi sang akhwat? Akhwat itu hanya bilang: “jangan bodoh Antum,
seminggu lagi Antum udah mau nikah, undangan udah disebar, apa ga malu
nanti keluarga besar Antum?”
Dan akhirnya ikhwan itu tetap menikah
dengan akhwat pilihan murabbinya. Qadarullah, setelah beberapa minggu
menikah, sang istri rupanya melihat email yang dikirim sang ikhwan ke
seorang akhwat yang dicenderungi sang ikhwan. Kaget luar biasa tentunya
dan akhirnya sang istri menemui akhwat tersebut dan bilang: “kenapa mba
ga bilang kalo ikhwan itu udah ada kecenderungan dengan mba dan begitu
pun dengan mba udah ada kecenderungan dengan dia. Kalo saya tahu, saya
akan membatalkan pernikahan saya, mba…”. Dan entahlah bagaimana kisah
selanjutnya.
Ya. Itu dua kisah yang amat dramatis dan tragis
tentang sebuah proses ta’aruf menuju jenjang pernikahan. Yang satu punya
pilihan sendiri dan mengikuti pilihannya sendiri tanpa
mengkomunikasikannya dengan sang murabbi sedangkan yang satunya lagi
memilih pilihan murabbi walaupun sudah punya pilihan sendiri, dan
lagi-lagi tak mengkomunikasikan tentang pilihan sendirinya ini kepada
sang murabbi.
Jika dilihat dua kasus di atas, apa sebenarnya yang
menjadi kunci dari masalah ini? K-O-M-U-N-I-K-A-S-I. Ya, komunikasi
antara sang ikhwan dan murabbi yang bermasalah. Padahal jika saja
hal-hal dalam penjemputan jodoh dikomunikasikan dengan baik kepada sang
murabbi, maka tak akan terjadi kisah tragis dan dramatis seperti di
atas. Namun karena kisah ini sudah terjadi, maka semoga menjadi
pelajaran bagi kita yang mungkin sedang berikhtiar kearah sana.
Hilangkan
rasa sungkan untuk mengkomunikasikan kepada murabbi jika memang sudah
punya pilihan sendiri. Begitu pun dengan seorang Murabbi, alangkah lebih
baik menanyakan terlebih dulu kepada binaannya apakah sang binaan sudah
mempunyai pilihan atau belum, karena mungkin ada yang sungkan untuk
mengatakannya pada Murabbi.
Bagaimanapun seorang murabbi adalah orangtua
kita, yang tau banyak tentang kita, sudah selayaknya kita pun
menghargainya, setidaknya berdiskusi dengan murabbi untuk setiap pilihan
kita, tentunya berdiskusi pula dengan orangtua kandung kita. Intinya,
sama-sama dikomunikasikan kepada orangtua maupun murabbi. Entah jika
memang sudah punya pilihan sendiri atau pilihan murabbi. Semoga kedua
kisah di atas tak menimpa kita. Aamiin.
Tulisan ini dibuat hanya
untuk mengingatkan kita tentang proses ta’aruf yang menjadi gerbang awal
sebuah pernikahan, sudah selayaknya proses ta’aruf itu terjaga dari
segala bentuk ketidaksucian niat, ikhtiar dan tawakal.
Hati-hati juga
jika kemudian timbul bisikan-bisikan setan akibat berlama-lama dalam
menyegerakan jika memang sudah siap menikah dan sudah punya pilihan
sendiri ataupun murabbi.
No comments:
Post a Comment
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Sudah Berkunjung ke Wabsite Saya...